Ada sebuah pelajaran yang menarik dari keikhlasan kaum muslimin pada saat penggalian parit menjelang Perang Khandaq. Salman al-Farisi adalah salah seorang sahabat Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang mana awalnya beliau berasal dari suku Majusi (penyembah api).
Setelah beranjak remaja dan semakin dewasa dia mulai berpikir kritis dan menggugat kepercayaan kaumnya yang menyembah berhala, sehingga kemudian mengalami pengembaraan panjang yang melelahkan sampai akhirnya tiba di kota Madinah.
Atas pertolongan salah seorang sahabat Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, Salman pun mampu bertemu dengan Rasululloh dan kemudian mengikrarkan syahadat sehingga resmi bergabung dalam barisan kaum muslimin.
Selama hidupnya dan bergaul bersama kaum muslimin, Salman pernah memberikan gagasan besar tatkala menghadapi perang Khandaq. Ketika itu umat Islam akan menghadapi pasukan musuh, sementara musim panas datang melanda.
Dalam sebuah diskusi mengenai strategi perang, Salman mengusulkan strategi agar membuat parit sebagaimana sering dilakukan oleh kaum Persia, dimana parit itu nantinya mengelilingi kota sebagai pengganti benteng untuk membendung kekuatan musuh.
Dengan menggali parit yang dalam, maka musuh akan terhalang jurang yang lebar sehingga tidak mudah untuk menembus kota. Strategi ini tidak pernah terfikirkan sebelumnya oleh kaum muslimin dan bangsa Arab pada umumnya, sehingga usulan dari Salman ini, langsung saja mendapatkan persetujuan dari Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam.
Proses penggalian paritpun mulai dikerjakan, dan musim panas jelas bukan persoalan yang mudah sebab dibutuhkan daya tahan tubuh yang kuat. Al Mubarakfury dalam kitab "Sirah Nabawiyah"nya (hal. 390-391) menjelaskan sebagai berikut; Rasululloh segera melaksanakan rencana penggalian parit tersebut seperti yang diusulkan Salman.
Setiap sepuluh laki-laki diberi tugas menggali parit sepanjang empat puluh hasta. Rasululloh mendoakan agar orang Muhajirin dan Anshar yang membantunya diampuni dosa-dosanya. Tak hanya itu, sebagai pemimpin beliau mencontohkan teladan terbaik dengan ikut menggali parit, bukan seperti kebanyakan pemimpin sekarang yang hanya berani perintah tapi enggan terjun ke lapangan.
Rasululloh semenjak pagi hari sudah pergi untuk menggali parit , perutnya diganjal dengan batu untuk menahan rasa lapar yang sangat mendera. Kemudian sambil mengangkut tanah beliau bersabda,
Pertama, bagaimana keikhlasan Rasululloh dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam, dimana cuaca yang panas terik tak sedikipun mengendurkan semangat jihad mereka.
Mereka meyakini kemenangan akan segera datang, sedangkan teriknya Matahari adalah ujian dari Allah yang harus dilalui sebelum memperoleh kemenangan. Allah seakan ingin mengatakan,
“Tak ada kemenangan yang diperoleh tanpa pengorbanan dan ujian. Sebab pengorbanan dan ujian adalah cara Allah menguji kesetiaan kepada agamanya dan keimanan hambanya”.
Jadi belajar ikhlas adalah persoalan hati, tak semata diucapkan di lisan sebab Allah sendiri yang akan melihat dan menilai seberapa jauh keikhlasan hambanya dalam menolong agama yang diridhainya.
Bagaikan hembusan angin, itulah yaqng namaya IKHLAS, lakukan sesuatu kebaikan, lalu lupakanlah dan tak perlu mengingatnya kembali. Sebab jika mengingatnya, kemudian tergerak menunjukkan kepada banyak orang, maka akan jatuh ke dalam lembah riya.
Sementara jika menyimpannya hanya dalam hati, lalu karena terjadi sebuah persoalan dengan orang yang pernah kita tolong, maka potensi mengungkit-ungkit keikhlasan dan pemberian tolong akan menjebak kita ke dalam jurang rusaknya amalan-amalan kebaikan.
Kedua, jangan letih mengerjakan kebaikan dan selalu mengingat Allah. Dalam kondisi lapar, haus dan berbagai kesusahan lainnya, maka berusaha dan berdoa, kemudian menyerahkan diri kepada-Nya adalah jalan terbaik. Sebab itulah yang dialami dan sudah diberikan contohnya oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam di atas dalam kasus perang Khandaq.
Setelah beranjak remaja dan semakin dewasa dia mulai berpikir kritis dan menggugat kepercayaan kaumnya yang menyembah berhala, sehingga kemudian mengalami pengembaraan panjang yang melelahkan sampai akhirnya tiba di kota Madinah.
Atas pertolongan salah seorang sahabat Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, Salman pun mampu bertemu dengan Rasululloh dan kemudian mengikrarkan syahadat sehingga resmi bergabung dalam barisan kaum muslimin.
Selama hidupnya dan bergaul bersama kaum muslimin, Salman pernah memberikan gagasan besar tatkala menghadapi perang Khandaq. Ketika itu umat Islam akan menghadapi pasukan musuh, sementara musim panas datang melanda.
Dalam sebuah diskusi mengenai strategi perang, Salman mengusulkan strategi agar membuat parit sebagaimana sering dilakukan oleh kaum Persia, dimana parit itu nantinya mengelilingi kota sebagai pengganti benteng untuk membendung kekuatan musuh.
Dengan menggali parit yang dalam, maka musuh akan terhalang jurang yang lebar sehingga tidak mudah untuk menembus kota. Strategi ini tidak pernah terfikirkan sebelumnya oleh kaum muslimin dan bangsa Arab pada umumnya, sehingga usulan dari Salman ini, langsung saja mendapatkan persetujuan dari Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam.
Proses penggalian paritpun mulai dikerjakan, dan musim panas jelas bukan persoalan yang mudah sebab dibutuhkan daya tahan tubuh yang kuat. Al Mubarakfury dalam kitab "Sirah Nabawiyah"nya (hal. 390-391) menjelaskan sebagai berikut; Rasululloh segera melaksanakan rencana penggalian parit tersebut seperti yang diusulkan Salman.
Setiap sepuluh laki-laki diberi tugas menggali parit sepanjang empat puluh hasta. Rasululloh mendoakan agar orang Muhajirin dan Anshar yang membantunya diampuni dosa-dosanya. Tak hanya itu, sebagai pemimpin beliau mencontohkan teladan terbaik dengan ikut menggali parit, bukan seperti kebanyakan pemimpin sekarang yang hanya berani perintah tapi enggan terjun ke lapangan.
Rasululloh semenjak pagi hari sudah pergi untuk menggali parit , perutnya diganjal dengan batu untuk menahan rasa lapar yang sangat mendera. Kemudian sambil mengangkut tanah beliau bersabda,
“Ya Allah andaikan bukan karena Engkau, tentu kami tidak akan mendapat petunjuk, tidak bershadaqah dan tidak shalat. Turunkanlah ketentraman kepada kami dan kokohkanlah pendirian kami jika kami berperang. Sesungguhnya para kerabat banyak yang sewenang-wenang kepada kami. Jika mereka menghendaki cobaan, kami tidak menginginkannya”.Dalam kisah perang Khandaq ini ada beberapa makna penting yang layak jadi renungan kaum muslimin, diantaranya adalah:
Pertama, bagaimana keikhlasan Rasululloh dan para sahabatnya dalam memperjuangkan Islam, dimana cuaca yang panas terik tak sedikipun mengendurkan semangat jihad mereka.
Mereka meyakini kemenangan akan segera datang, sedangkan teriknya Matahari adalah ujian dari Allah yang harus dilalui sebelum memperoleh kemenangan. Allah seakan ingin mengatakan,
“Tak ada kemenangan yang diperoleh tanpa pengorbanan dan ujian. Sebab pengorbanan dan ujian adalah cara Allah menguji kesetiaan kepada agamanya dan keimanan hambanya”.
Jadi belajar ikhlas adalah persoalan hati, tak semata diucapkan di lisan sebab Allah sendiri yang akan melihat dan menilai seberapa jauh keikhlasan hambanya dalam menolong agama yang diridhainya.
Bagaikan hembusan angin, itulah yaqng namaya IKHLAS, lakukan sesuatu kebaikan, lalu lupakanlah dan tak perlu mengingatnya kembali. Sebab jika mengingatnya, kemudian tergerak menunjukkan kepada banyak orang, maka akan jatuh ke dalam lembah riya.
Sementara jika menyimpannya hanya dalam hati, lalu karena terjadi sebuah persoalan dengan orang yang pernah kita tolong, maka potensi mengungkit-ungkit keikhlasan dan pemberian tolong akan menjebak kita ke dalam jurang rusaknya amalan-amalan kebaikan.
Kedua, jangan letih mengerjakan kebaikan dan selalu mengingat Allah. Dalam kondisi lapar, haus dan berbagai kesusahan lainnya, maka berusaha dan berdoa, kemudian menyerahkan diri kepada-Nya adalah jalan terbaik. Sebab itulah yang dialami dan sudah diberikan contohnya oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam di atas dalam kasus perang Khandaq.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (Qs. An-Nisa [4]: 125)***
0 comments:
Post a Comment